a

Monday, May 14, 2018

Niulang Zhinü 織女牛郎


Cerita Cinta antara Zhinü (織女; gadis penenun, yang melambangkan bintang Vega) dan Niulang (牛郎; si gembala sapi, yang melambangkan bintang Altair). Percintaan mereka tidak direstui, sehingga mereka diasingkan ke sisi yang berlawanan di Sungai Perak (melambangkan Galaksi Bima Sakti). Sekali dalam setahun, pada hari ke-7 bulan ke-7 kalender Imlek, sekawanan burung magpie akan membentuk jembatan untuk menyatukan kembali sepasang kekasih tersebut selama satu hari. Terdapat banyak variasi mengenai cerita ini. Referensi paling awal yang diketahui tentang mitos yang terkenal ini berasal dari lebih dari 2600 tahun yang lalu, yang diceritakan dalam sebuah puisi dari Puisi Klasik.

Kisah Gembala Sapi dan Gadis Penenun telah dirayakan dalam Festival Qixi di Tiongkok sejak Dinasti Han. Kisah ini juga telah dirayakan dalam festival Tanabata di Jepang, dan festival Chilseok di Korea. Cerita ini sekarang dianggap sebagai salah satu dari Empat Cerita Rakyat Terkenal Tiongkok, yang lainnya adalah Legenda Siluman Ular Putih, Meng Jiang Nü, dan Liang Shanbo dan Zhu Yingtai.

Liang Shanbo Zhu Yingtai 梁山伯与祝英台


Sampek Engtay adalah legenda dari Tiongkok mengenai tragedi romantika antara dua kekasih, Sampek dan Engtay, dalam bahasa mandarin: Liang Shanbo (梁山伯) dan Zhu Yingtai (祝英台). Legenda ini sering dianggap sebagai Romeo dan Juliet versi Cina. Engtay adalah seorang gadis muda dari Shangyu, Zhejiang, putri tunggal dari sebuah keluarga kaya. Ia menyamar sebagai seorang laki-laki dan pergi ke Hangzhou untuk belajar. Dalam perjalanannya, ia berkenalan dengan Sampek, yang berasal dari Kuaiji. Mereka memutuskan diri menjadi saudara angkat. Di sekolah Engtay mulai jatuh cinta dengan Sampek.

Tiga tahun kemudian, Engtay menerima surat dari ayahnya yang meminta ia agar pulang secepatnya. Sebelum pergi, ia membuka kedoknya pada istri kepala sekolahnya, dan meminta agar ia memberikan sebuah kalung kepada Sampek sebagai hadiah pertunangan. Sampek mengantar Engtay pulang sejauh 18 mil. Dalam perjalanan, Engtay mendapat ide untuk menjodohkan Sampek dengan "adik perempuan"nya. Ia meminta Sampek untuk datang ke rumahnya agar ia dapat diperkenalkan dengan adik tersebut.

Siluman Ular Putih 白蛇传


Legenda Siluman Ular Putih(白蛇传) adalah legenda tentang seorang siluman ular putih bernama Bai Suzhen yang jatuh cinta pada seorang pelajar bernama Xu Xian. Cerita ini memiliki banyak versi sehingga bisa berbeda dari satu dan lainnya. Setelah bertemu di jembatan Duan pada saat hujan turun, Xu Xian meminjamkan payungnya kepada Bai Su Zhen. Keduanya jatuh cinta dan menikah.

Tak lama setelahnya pada saat Festival Peh Cun, Bai Suzhen tidak sengaja meminum arak yang membuatnya berubah kembali menjadi ular putih raksasa. Bai Suzhen berusaha keras menolong suaminya dengan mengambil herbal dari Gunung Kunlun tetapi dihalangi oleh seorang pendeta.

Putri Meng Jiang 孟姜女


Meng Jiang Nü atau Nyonya Meng Jiang (Tionghoa: 孟姜女; Pinyin: Mèng Jiāng Nǚ) adalah sebuah cerita legenda Tiongkok, dengan berbagai variasi. Versi kemudian berlatar pada masa Dinasti Qin, ketika suami Nyonya Meng Jiang dipaksa untuk mengabdi oleh pejabat kekaisaran dan dikirim sebagai tenaga kerja paksa untuk membangun Tembok Besar Tiongkok. Nyonya Meng Jiang tidak mendengar kabar apa pun setelah kepergian suaminya, sehingga dia berangkat untuk memberinya pakaian musim dingin. Sayangnya, saat dia sampai di Tembok Besar, suaminya sudah meninggal. Mendengar kabar buruk ini, dia menangis begitu sedihnya sehingga sebagian Tembok Besar roboh, memperlihatkan tulang belulang suaminya.

Cerita ini sekarang dianggap sebagai salah satu dari Empat Cerita Legenda Rakyat Tiongkok Terkenal, yang lainnya adalah Legenda Siluman Ular Putih (Baishezhuan), Liang Shanbo dan Zhu Yingtai, dan Gembala Sapi dan Gadis Penenun (Niulang Zhinü). Para ahli cerita rakyat Tiongkok pada awal abad ke-20 menemukan bahwa legenda tersebut muncul dalam berbagai bentuk dan genre dan berkembang selama 2.000 tahun terakhir.

Bagian Tembok Besar yang dirobohkan dalam legenda tersebut berada di Kota Zibo, Provinsi Shandong saat ini. Kuil Nyonya Meng Jiang, yang asal mulanya diperkirakan berasal dari Dinasti Song, dibangun atau dibangun kembali pada tahun 1594, pada masa Dinasti Ming, di permulaan Tembok Besar bagian timur di Qinhuangdao, Provinsi Hebei. Kuil ini masih ada saat ini. Aslinya "Meng" bukan merupakan nama keluarganya. "Meng Jiang" merupakan sebutan yang sangat umum bagi para wanita di Negara Qi, karena "Jiang" adalah nama keluarga penguasa Qi dan sebagian besar bangsawannya, dan "Meng" berarti "anak sulung" yang lahir bukan dari istri utama.

Sun Go Kong 悟空传


Sun Go Kong (Bahasa Hokkian:Sun-gō·-khong / Sun-ngō·-khong) adalah tokoh utama dalam novel Perjalanan ke Barat. Dalam novel ini, ia menemani pendeta Tong dalam perjalanannya.

Dalam buku Journey To The West versi terjemahan bahasa Inggris, dinyatakan bahwa:
"Sun Go Kong amat gagah, senang sekali mengangkat tongkat sakti Ruyi Jingu Bang yang beratnya 13.500 kati (8.100 kg). Sun Go Kong adalah seorang pejuang mahir yang mampu melawan panglima-panglima hebat di kayangan. Dia juga menghafal berbagai mantra untuk menghembuskan angin, membelah air, menyulap lingkaran lindungan dari ancaman setan."

Sunday, May 13, 2018

Momotarō (桃太郎)


Momotarō (桃太郎) adalah cerita rakyat Jepang yang mengisahkan anak laki-laki super kuat bernama Momotarō yang pergi membasmi raksasa. Diberi nama Momotarō karena ia dilahirkan dari dalam buah persik (momo), sedangkan "Tarō" adalah nama yang umum bagi laki-laki di Jepang.

Dari nenek, Momotarō mendapat bekal kue kibidango. Di perjalanan, anjing, monyet, dan burung pegar ikut bergabung sebagai pengikut Momotarō karena diberi kue.

Banchō Sarayashiki 番町皿屋敷


Bancho Sarayashiki (Okiku dan Sembilan Piring Berharga) adalah salah satu legenda kisah hantu dari Jepang yang paling terkenal, dengan dilatarbelakangi oleh kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan karena Strata Sosial, pengingkaran sebuah janji dan kepercayaan menyebabkan takdir yang kelam. Cerita tentang Okiku ini tidak diketahui darimana asal muasalnya pertama kali, yang jelas kisah Okiku sudah sangat tua sekali. Hanya saja kisah ini pertama kali muncul ke permukaan pada pertunjukan Kabuki di teater dengan judul “Bancho Sarayashiki” pada tahun 1741.